OPINI  

Hebohnya Tindakan Flexing hingga Dinonaktifkannya Pejabat Negara

Ilustrasi Flexing. ( fot.dokumentasi).*

Oleh: Nur Hikmah (Karawang)

SILAT JABAR – Flexing, kata itu terdengar asing di telinga. Namun, baru-baru ini kata tersebut menghebohkan hingga membuat luka di hati masyarakat. Memang apa sih yang terjadi?

Sebelumnya, kita bahas dulu mengenai apa itu flexing. Secara garis besar, flexing adalah suatu kebiasaan seseorang untuk memamerkan apa yang dimilikinya di media sosial.

Kemudian, tindakan ini dilakukan untuk mendapatkan pengakuan oleh orang lain.

Sedangkan, menurut Cambridge Dictionary, flexing adalah menunjukkan sesuatu yang dimiliki atau diraih tetapi dengan cara yang dianggap oleh orang lain tidak menyenangkan.

Biasanya faktor seseorang melakukan flexing adalah adanya perasaan insecure, kurang empati, adanya masalah kepribadian, tekanan sosial, dan mencari perhatian.

Nah, kembali lagi flexing yang membuat heboh masyarakat baru-baru ini yaitu Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PAN Guspardi Gaus meminta Mendagri Tito Karnavian memeriksa Sekda Riau SF Hariyanto yang disorot karena istri dan anaknya gemar pamer kemewahan atau flexing.

Menurut Guspardi, tindakan flexing keluarga pejabat telah melukai hati masyarakat.

Menurut Guspardi, Mendagri Tito Karnavian sebagai pembina aparatur sipil negara atau ASN harus mengambil tindakan tegas.

Tidak hanya sekadar menegur Sekda Riau SF Hariyanto, Guspardi meminta agar Kemendagri bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk memproses pejabat yang hartanya diduga tidak wajar. ( 23/03/2023)

Maraknya aksi pamer harta pejabat di media sosial, membuat masyarakat kompak mencari sumber kekayaan, hingga laporan kekayaan para pejabat.

Hal ini sempat direspons Kementerian Keuangan dengan menginvestigasi 69 Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kemenkeu yang dianggap memiliki jumlah harta tidak wajar. ( 26/03/2023)

Dari kejadian tersebut banyak para pejabat yang dinonaktifkan dari pekerjaannya. Nah, dengan keputusan ini bukankah terasa aneh?

Baca Juga :  Wabup Garut Hadiri Prosesi Pemakaman Putra Gubernur Jabar

Padahal tindakan yang harus dilakukan adalah dengan mengecek apakah sumber kekayaannya itu berasal dari hasil haram atau halal, jika memang sumber kekayaannya hasil dari yang haram maka baru diputuskan hukumannya.

Tindakan yang langsung menonaktifkan para pejabat itu bisa jadi hanyalah citra penguasa agar terlihat cepat menindak kasus tersebut dan berusaha menindak pegawainya yang menyeleweng.

Namun, hal itu malah memperjelas bahwa pejabat dalam sistem sekuler kapitalisme ini nir akhlak.

Bagaimana tidak nir akhlak? Di kala masyarakat masih mengalami kesulitan, seperti kelaparan dan pengangguran namun para pejabat berlomba-lomba meraup kekayaan dengan memanfaatkan kekayaannya.
Baik itu melalui korupsi, suap, dan lainnya.

Dan mereka malah memamerkan kekayaannya, jelas itu sangat melukai hati rakyat. Miris bukan?

Berbeda jika hal itu terjadi di masa Islam, di dalam sistem Islam ada cara khusus untuk mengatasi hal ini.

Nah, Islam sendiri tidak melarang setiap individunya menjadi orang kaya.

Akan tetapi, Islam akan memandang berasal dari mana kekayaan itu apakah dari hasil transaksi halal atau haram.

Pernah terjadi di masa Khalifah Umar bin Khattab, beliau pernah mengangkat pengawas, yaitu Muhammad bin Maslahah yang bertugas mengawasi kekayaan para pejabat,

Petugas ini akan melakukan pembuktian terbalik atau menghitung kekayaan pejabat di awal dan di akhir jika diduga melakukan tindak korupsi.

Bila terdapat kenaikan tidak wajar dari kekayaannya, pejabat tersebut diminta untuk membuktikannya sendiri darimana kekayaannya yang lebih itu berasal.

Jika pelaku tidak sanggup membuktikannya maka kelebihan harta tersebut termasuk harta ghulul dan akan diberikan ke kas negara atau Baitul Mal.

Rasulullah pernah bersabda:

“Siapa saja yang kami angkat untuk satu tugas dan telah kami tetapkan pemberian (gaji) untuk dia maka apa yang dia ambil setelah itu adalah harta ghulul.” (HR. Abu Dawud)

Baca Juga :  Solidkan Organisasi, Pengurus SMI Jabar Gelar Raker Terbatas

Tidak hanya itu, pelaku korupsi akan mendapat sanksi ta’zir karena telah merugikan negara. Dan hukuman dapat berupa tasyhir (pewartaan/ekspos), denda, penjara yang lama sampai hukuman mati.

Hal ini juga disesuaikan dengan tingkat dan dampak korupsinya.

Khalifah Umar memberikan teladan yang begitu baik dalam menjaga kesucian harta para pejabat ataupun warga negaranya.

Seperti inilah, Khilafah menindak para koruptor yang bernafsu mengejar kekayaan demi memuaskan gaya hidup heden mereka.

Namun, hal ini hanya dapat dilakukan di dalam Daulah Islam.

Maka dari itu, sudah seharusnya sistem sekuler kapitalisme sekarang ini diganti menjadi sistem Islam yang sudah sangat jelas aturannya lansung dari Sang Pencipta yaitu Allah Swt. Wallahuallam. (Red).*