Gambar ilustrasi / ODGJ. *
Reporter: Tawati (Muslimah Revowriter Majalengka)
MAJALENGKA – Kementerian Kesehatan mencatat kasus depresi dan kecemasan dalam masa pandemi Covid-19 saat ini melonjak cukup tajam. Demikian dikemukakan Kepala Subdirektorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kesehatan Jiwa Dewasa dan Lansia Kemenkes RI Rahbudi Helmi.
“Sebanyak 60% mengalami gejala depresi dan lebih dari 40% disertai ide bunuh diri. Ide bunuh diri adalah ekses dari keadaan penyakit yang sulit dikendalikan,” kata Helmi, dalam Peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia Tahun 2021 dengan tema “Mental Health For All : Let’s Make it Reality” (jabarprov.go.id, 18/10/2021).
Bunuh diri merupakan salah satu kondisi gangguan kesehatan mental akut. Gangguan kesehatan mental merupakan hambatan utama bagi kesejahteraan penduduk pada suatu negara. Jika diamati dari kasus bunuh diri, terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Menurut WHO dalam Global Burden of Disease 2004 lalu menyebutkan, bunuh diri termasuk dalam 20 penyebab utama kematian untuk semua usia. Penyakit mental terutama depresi, pelecehan, kekerasan, latar belakang sosial dan budaya merupakan faktor risiko utama yang menyebabkan bunuh diri. Dan perilaku bunuh diri ini, dapat dijadikan salah satu pendekatan untuk prevalensi gangguan kesehatan mental di suatu negara.
Tak heran memang, hidup dengan hukum rimba kapitalisme yang menghamba harta, pastilah meniscayakan kehidupan yang berstandar fisik. Bagi pihak-pihak yang papa dan tak mampu meraih materi, sementara poros kebahagiaannya hanya dipusatkan pada capaian nominal, cepat atau lambat akan mengalami depresi dan putus harapan.
Ini sekaligus menjadi bukti nyata, bahwa kapitalisme sangat tidak manusiawi mengelola eksistensi diri orang-orang yang bernaung dengan tata aturannya. Karena dalam kapitalisme, yang menang adalah yang berharta. Yang kuat adalah yang punya dana. Sementara yang tak berada, dipersilakan minggir dan menonton saja. Akibatnya, semakin lama peningkatan prevalensi gangguan mental dan patologi sosial pun tak terhindarkan.
Di Indonesia, jumlah kasus gangguan jiwa terus bertambah yang berdampak pada penambahan beban negara dan penurunan produktivitas manusia untuk jangka panjang. Bahkan di Jawa Barat sendiri jumlah pengidap gangguan jiwa naik 20 persen selama pandemi. Sayangnya, gangguan kesehatan mental masih tergolong low priority issue di mayoritas negara berkembang. Hal ini menunjukkan kurangnya komitmen para pengambil kebijakan untuk serius menangani masalah kesehatan mental.
Inilah mengapa sedemikian urgennya muara pengelolaan eksistensi diri manusia dikembalikan pada posisi manusia sebagai seorang hamba. Yang tak lain, ada Sang Khaliq yang tak hanya selaku pembuat aturan bagi kehidupannya, tapi juga legislator atas cara kematian sang hamba. Bunuh diri begitu dilaknat oleh Islam. Orang-orang yang tertimpa kasus bunuh diri, dapat dipastikan ia sudah depresi mengharapkan dunia namun sayangnya tak kunjung beranjak pada aturan Sang Pencipta.
Demikian halnya dengan negara, sang pengampu kebijakan. Akan ke mana bahtera pemerintahan hendak dibawa, ketika harta dunia terlalu dipuja. Padahal harta ada batasnya. Tak pelak, inilah yang tengah dialami tanah air kita.
Negara menumpuk utang, segala dana didalihkan untuk infrastruktur, impor menggunung, pajak ditarik di setiap sudut kantong warga; namun pembinaan jiwa dan kesejahteraan sosial diabaikan. Lihat saja, biaya kesehatan dikapitalisasi, dunia pendidikan disekularisasi, kegiatan-kegiatan keislaman dipersekusi dan ajaran-ajaran Islam dikriminalisasi. Salah satu dampaknya, angka bunuh diri pun meningkat.
Bagaimana mental hendak sehat jika ranah-ranah pengobatan menuju ilmu dan taqarrub kepada Allah SWT, malah diaborsi di segala sisi. Semua itu tak lepas dari paradigma sistem pemerintahan kita yang sekuler. Karena negara sekuler tak menjadikan agama sebagai kiblat pemecah masalah.
Sedangkan Islam adalah agama dengan pengaturan paripurna bagi kehidupan manusia, memberikan solusi komprehensif termasuk dalam mengatasi gangguan kejiwaan. Bahkan sejak awal Islam mampu mencegah hal itu terjadi sehingga tidak mewabah dalam masyarakat sebagaimana yang terjadi saat ini.
Lantas, bagaimana Islam mencegah dan mengatasi maraknya gangguan kejiwaan di tengah masyarakat?
Pertama, hendaknya setiap individu masyarakat beriman kepada Allah dan rasul-Nya dengan keimanan yang benar. Meyakini bahwa ketakwaan menjadi sebab dibukakannya jalan keluar dari problem kehidupan. Bersyukur atas setiap pemberian-Nya, bersabar atas musibah yang menimpanya, karena boleh jadi semua itu sebagai penggugur dosa. Negara di dalam sistem Islam akan menjaga kondisi keimanan ini senantiasa berada dalam kondisi yang kokoh.
Kedua, Islam mewajibkan penerapan hukum-hukumnya secara total dalam kehidupan bermasyarakat, baik politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, kesehatan, peradilan, dan keamanan. Dengan penerapan hukum Islam, akan terjamin pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan, serta kebutuhan kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Negara berkewajiban melakukan pengurusan dan pelayanan terhadap setiap kebutuhan rakyat. Tidak boleh ada kapitalisasi sumber daya alam, komersialisasi pendidikan dan kesehatan. Masyarakat tenteram tidak penuh tekanan.
Ketiga, Islam mewajibkan adanya kontrol masyarakat terhadap kondisi yang terjadi. Masyarakat wajib melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap kebijakan pemerintah yang menyimpang dari Islam. Hal ini akan disikapi dengan keterbukaan dalam rangka pelaksanaan kewajiban. Dengan adanya kontrol ketat dari masyarakat, maka pemerintah tidak akan mudah melakukan kezaliman dalam setiap kebijakannya. Walhasil, rakyat akan lebih dipentingkan kebutuhannya.
Keempat, jika terjadi juga gangguan kejiwaan pada masyarakat, dan itu mungkin hanya kasuistik, maka solusinya adalah mengembalikan penderita pada aturan agama, yaitu Islam. Mengembalikan keimanannya dan pemahamannya kepada Islam. Tentunya juga dilakukan langkah-langkah pengobatan sesuai dengan tata cara pengobatan Islami.
Inilah solusi Islam di dalam menjaga kejiwaan masyarakat. Inilah bentuk pengurusan negara terhadap kesehatan mental warganya. Wallahu a’lam bishshawab. (Red/Editor: Why).*