Oleh: Siti Susanti, S.Pd.
BANDUNG – Seiring dengan datangnya musim hujan, bencana banjir dan banjir bandang kembali menghantui.
Jika sebelumnya bencana banjir identik menimpa dataran rendah karena mendapat ‘kiriman’ air dari dataran tinggi, tahun ini banyak menimpa dataran tinggi misalnya daerah Lembang Kabupaten Bandung Barat.
Terkait ini, Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum mengatakan Pemprov Jabar, telah menyiapkan Rp 500 miliar dari biaya tak terduga (BTT) untuk menghadapi musim bencana 2021. (detik.com, 3/11/2021)
Dengan kejadian bencana yang banyak terjadi, selayaknya kita melakukan introspeksi, tentang penjagaan alam yang dititipkan kepada kita, manusia.
Bukankah Allah SWT berfirman dalam Al-quran Surat Ar-rum ayat 41? yang artinya: ” Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan ulah tangan manusia. “
Kehidupan yang kapitalistik rupanya telah mendorong manusia untuk berbuat serakah. Mengeksploitasi alam dan melakukan pembangunan tanpa memperhatikan kelestariannya.
Dalam sistem kapitalisme saat ini, siapa yang memiliki modal finansial yang besar seolah memiliki hak untuk mengeksploitasi dan melakukan pembangunan sekehendaknya. Bahkan, berbagai kebijakan sering terlihat memuluskan hal ini.
Jika menilik kepada Islam, akan kita dapati seperangkat aturan yang memberi rahmat (kebaikan) untuk seluruh alam. Syariat Islam datang tidak lain untuk memberi kebaikan ini, sebagaimana firmanNya dalam Qur’an Surat Al-A’raf ayat 96:
” Tidaklah Aku mengutus engkau (Muhammad) tidak lain untuk memberi rahmat bagi seluruh alam. “
Alam semesta adalah salah satu bentuk ciptaanNya. Melestarikannya adalah dengan memenuhi haknya sesuai tuntunan sunnatullah/hukum alam.
Tuntunan syariat Islam itu diantaranya:
Pertama, memerintahkan kepada individu muslim untuk menjaga alam dan lingkungan. Hal ini sebagaimana pesan khalifah Abu Bakar saat mengutus Yazid bin Abu Sufyan memimpin perang ke Syam.
“Aku berwasiat takwa untuk kalian, jangan bermaksiat, jangan melampaui batas, jangan penakut, jangan hancurkan rumah ibadah, jangan hancurkan kebun kurma, jangan bakar perkebunan, jangan membunuh hewan ternak, jangan menebang pohon berbuah, jangan membunuh orang tua renta, anak kecil, balita, dan perempuan. “
Begitulah, dalam kondisi perang saja Islam sangat memperhatikan kelestarian alam, apalagi dalam kondisi biasa.
Kedua, mengatur kepemilikan harta, yaitu milik pribadi, milik umum dan milik negara. Sehingga, kebijakan yang dikeluarkan akan sesuai pengaturan kepemilikan ini; hutan dan keanekaragaman hayati tidak boleh dikuasakan kepada individu/swasta karena ia milik masyarakat. Masyarakat boleh mengambil sesuai kebutuhan sehari-hari, bukan untuk eksploitasi sekehendak hati.
Ketiga, perlindungan lingkungan hidup.
Dalam Islam, dikenal istilah hima, yaitu perlindungan kawasan tertentu. Di dalamnya ada larangan berburu dan eksploitasi tanaman.
Misalnya pada masa Nabi, daerah Naqi dekat Madinah dijadikan Hima, dilarang berburu radius 4 mil dan dilarang merusak tanaman radius 12 mil.
Keempat, aktivasi tanah mati.
Hal ini sebagaimana hadits Nabi SAW:
” Siapa saja yang menghidupkan tanah mati makan tanah itu miliknya dan orang yang memagari tidak memiliki hak setelah tiga tahun. ” ( HR. Abu Yusuf)
Kelima, reboisasi dan penghijauan. Dengan begitu, fungsi hutan/pohon tidak akan hilang.
Keenam, pembangunan insfrastruktur sesuai dengan topografi dan karakter alam wilayah tersebut.
Misalnya kawasan serapan air dan hutan bakau tidak boleh dialihfungsikan untuk pembangunan.
Demikianlah, aturan-aturan ini saling berkelindan satu sama lain. Dan pelaksanaannya melibatkan seluruh kompenen baik individu, masyarakat dan negara.
Dan Islam menjadikan negara sebagai penanggung jawab urusan masyarakat, agar aturan-aturan ini bisa ditegakkan. Hal ini sebagai mana hadits Nabi SAW :
” Imam (kepala negara) adalah ra’in (penanggung jawab urusan masyarakat), dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas pengurusannya. “
(Siti Susanti, S.Pd., pengelola majlis zikir As-Sakinah).