Tantangan dan Peluang Pendidikan Olahraga Di Era Society 5.0

Sidang Terbuka Senat STKIP Pasundan dalam rangka pengukuhan guru besar pendidikan olah raga, Prof,DR. Akhmad Sobarna, S.Pd, M.M,Pd. Hotel Harris Bandung, Kamis (11/07/2024). Foto dok. (Istimewa).

Sementara itu, pada abad ke-21 pelajar diharapkan memiliki kompetensi yang disebut dengan kemampuan enam literasi dasar yaitu baca tulis, numerasi, sains, digital, finansial, dan budaya dan kewarganegaraan. Namun pada era society 5.0 yang akan dihadapi nanti, tidak hanya dibutuhkan enam literasi dasar saja, namun juga memiliki kompetensi lainnya yaitu mampu berfikir kritis, bernalar, kreatif, komunikatif, kolaboratif, memiliki kemampuan problem solving, serta memiliki karakter yang mencerminkan pancasila.

Selain itu, kegiatan pembelajaran di era society 5.0 tidak hanya berfokus pada satu sumber seperti buku, melainkan dapat menerima informasi dari berbagai macam platform teknologi dan informasi seperti internet dan media sosial. Oleh karena itu, peran pendidikan dan pembelajaran sangat penting di era society 5.0 dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas generasi unggul yang berkarakter. Disamping itu, dalam kontek masyarakat di era society 5.0 diperlukan gaya hidup aktif dan sehat, karena itu akan menjadi variabel penting untuk menjaga dan meningkatkan kualitas hidup.Berdasarkan kajian yang telah dijelaskan tersebut, maka sebetulnya yang menjadi pertanyaan mendasar adalah apa yang harus dilakukan atau langkah nyata apa yang sekiranya diperlukan oleh para pelaku olahraga, baik sebagai praktisi ataupun akademisi dalam menghadapi kemajuan era di 5.0 ini…?

Mari kita lihat terlebih dahulu dari segi kebijakannya. Dalam UU No 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan, disebutkan pada BAB V tentang Ruang Lingkup Olahraga di Pasal 17 menyatakan bahwa Ruang lingkup olahraga meliputi kegiatan : 1) Olahraga Pendidikan; 2) Olahraga Masyarakat; 3) Olahraga Prestasi.

Pada bagian ini sudah jelas, bahwa kedudukan Pendidikan Olahraga masuk pada ruang lingkup kegiatan yang pertama, yaitu masuk pada kategori Olahraga Pendidikan. Dimana kemudian pada pasal 18 ayat 1 nya disebutkan bahwa olahraga pendidikan penyelenggaraannya bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai karakter dan memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dibutuhkan guna membangun gaya hidup sehat aktif sepanjang hayat. Kemudian juga pada ayat 2 nya disebutkan bahwa: Olahraga pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan, baik pada jalur pendidikan formal melalui kegiatan intrakurikuler dan/ atau ekstrakurikuler, maupun nonformal melalui bentuk kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan. Artinya bahwa setiap pendidikan olahraga yang dilakukan dapat melalui jalur formal seperti di sekolah-sekolah, maupun non formal seperti di akademi-akademi olahraga.

Baca Juga :  Dicky Ingatkan Warga Cimahi, Kesehatan Menjadi Modal Utama Dalam Melakukan Aktivitas Hidup

Nah, khususnya di sekolah-sekolah kita mengenal dan mengetahui satu mata pelajaran yang membidangi kegiatan olahraga, yaitu Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan atau lebih dikenal dengan singkatan PJOK. Namun, nampaknya ada hal yang menarik pada bagian ini, yaitu mengenai paradigma dari sebagian orang yang mungkin ini juga masih sering terjadi dikalangan para guru PJOK itu sendiri, yaitu mengenai hakekat dari Pendidikan Jasmani dan juga Pendidikan Olahraga. Walaupun pada dasarnya aktivitas ini dilakukan oleh jasmani/tubuh, akan tetapi kedua arti tersebut memiliki konsep yang berbeda.

Pendidikan jasmani berarti program pendidikan lewat gerak atau permainan dan olahraga. Di dalamnya terkandung arti bahwa gerakan, permainan atau cabang olahraga tertentu yang dipilih hanyalah alat untuk mendidik. Hal ini dapat berupa keterampilan fisik dan motorik, keterampilan berpikir dan keterampilan memecahkan masalah, dan bisa juga keterampilan emosional dan sosial. Karena itu, seluruh adegan pembelajaran dalam mempelajari gerak dan olahraga tadi lebih penting dari pada hasilnya. Dengan demikian, bagaimana guru memilih metode, melibatkan anak, berinteraksi dengan siswa serta merangsang interaksi siswa dengan siswa lainnya, harus menjadi pertimbangan utama.

Adapun pendidikan olahraga adalah pendidikan yang membina anak agar menguasai cabang – cabang olahraga tertentu. Kepada siswa diperkenalkan berbagai cabang olahraga agar mereka menguasai keterampilan berolahraga. Yang ditekankan di sini adalah “hasil” dari pembelajaran itu, sehingga metode pengajaran serta bagaimana anak menjalani pembelajarannya didikte oleh tujuan yang ingin dicapai. Ciri-ciri pelatihan olahraga menyusup ke dalam proses pembelajaran. Yang sering terjadi pada pembelajaran “pendidikan olahraga” adalah bahwa guru kurang memperhatikan kemampuan dan kebutuhan siswa. Jika siswa harus belajar bermain bola voli, mereka belajar keterampilan teknik bola voli secara langsung. Teknik-teknik dasar dalam pelajaran demikian lebih ditekankan, sementara tahapan penyajian tugas gerak yang disesuaikan dengan kemampuan anak kurang diperhatikan.

Baca Juga :  Dinsos Cimahi Gandeng IPEMI Tangani Masalah Anak Terlantar

Melihat perbedaan kedua konsep tadi secara singkat, jelas nampaknya terlihat bahwa pada dasarnya antara Pendidikan jasmani dengan Pendidikan olahraga memiliki beberapa perbedaan dalam segi implementasinya. Pendidikan Jasmani tentu tidak bisa dilakukan dengan cara pendidikan olahraga. Pendidikan jasmani adalah suatu proses yang terencana dan bertahap yang perlu dibina secara hati-hati dalam waktu yang diperhitungkan. Pendidikan jasmani adalah bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan yang bertujuan meningkatkan individu secara organik, neuromuscular, intelektual dan emosional melalui aktivitas fisik. Artinya program pendidikan jasmani merupakan sebuah program pendidikan melalui aktivitas gerak atau permainan dan olahraga, dimana dalam pelaksanaannya mengandung arti bahwa gerakan, permainan atau cabang olahraga tertentu dipilih hanya sebagai alat untuk mendidik.

Bila orientasi pelajaran pendidikan jasmani adalah agar anak menguasai keterampilan berolahraga, misalnya sepak bola, guru akan lebih menekankan pada pembelajaran teknik dasar dengan kriteria keberhasilan yang sudah ditentukan. Dalam hal ini, guru tidak akan memperhatikan bagaimana agar setiap anak mampu melakukannya, sebab cara melatih teknik dasar yang bersangkutan hanya dilakukan dengan cara tunggal. Beberapa anak mungkin bisa mengikuti dan menikmati cara belajar yang dipilih guru tadi. Tetapi sebagian lain merasa selalu gagal, karena bagi mereka cara latihan tersebut terlalu sulit, atau terlalu mudah.