Bendahara Umum HmI Cabang Sukabumi Muhammad Aldi Nugraha. Foto (Istimewa).
Reporter :Liputan khusus
SUKABUMI – Berbicara hutan berarti berbicara peradaban dari masa kini hingga masa yang akan datang, karena hutan bukan hanya dibutuhkan oleh flora dan fauna saja, tetapi disitu ada juga kebutuhan bagi umat manusia. Yaitu kebutuhan akan ketersediaan oksigen untuk keberlangsungan hidup.
Seharusnya kita sebagai bangsa Indonesia harus berbangga dengan luasnya hutan di Indonesia, luas hutan sekitar 888.950 km² di negara ini seharusnya menjadi kebanggaan tersendiri bagi rakyat atau pun bagi pemerintah selaku pemangku kebijakan. Perlu diketahui bangsa lain menyebut Indonesia dengan sebutan jamrud khatulistiwa bukan tanpa alasan, hal itu terjadi karena hijaunya bumi nusantara Ketika dilihat dari udara.
Tetapi sebutan jamrud khatulistiwa itu hanyalah romansa sejarah yang selalu diceritakan dari generasi kegenerasi tanpa ada usaha untuk menjaga kelestarian hutan itu sendiri. Hal ini terbukti dari banyaknya kasus pengalih fungsian hutan. Dan para aktornya pun beragam, mulai dari pejabat publik, para pengusaha yang tidak bertanggung jawab, bahkan masyarakat pun ada yang terlibat dalam kasus tersebut.Sehingga hal ini berdampak pada menyusutnya hutan di Indonesia.
Data terakhir dari kementrian lingkungan hidup menyebutkan bahwa pada tahun 2019-2020 terjadi penyusutan yang membuat Indonesia menjadi negara dengan kehilangan hutan terparah peringkat ke empat didunia setelah Bolivia diperingkat ke tiga, Republik Demokratik Konggo diposisi ke dua dan Brazil diposisi pertama.
Banyak contoh dari pengalih fungsian hutan yang terjadi di Indonesia, dimulai dari dibukanya lahan perkebunan sawit di Kalimantan, Sumatra, Jawa dan Papua, pembukaan lahan pertanian, menjadi pemukiman bagi penduduk, ada juga yang menjadi tempat wisata tanpa memperhatikan kelestarian hutan, dan yang lebih parahnya lagi banyak hutan- hutan yang dijadikan kawasan pertambangan.
Dengan keadaan tersebut, tentunya sangat miris sekali. Padahal dimedia-media ramai bahwa pemerintah sedang berjuang untuk kelestarian hutan. Hal tersebut sangat bertolak belakang ketika melihat kelapangan, bahkan yang lebih mirisnya lagi pemerintah sendiri ikut berperan akan berkurangnya hutan di Indonesia.
Sebagai contoh pemerintah ikut berperan dalam perusakan hutan itu terbukti di Sukabumi, dimulai dari pembangunan jembatan gantung terpanjang di Asean yang diresmikan oleh Menko Luhut Binsar Panjaitan, padahal jelas pembangunan tersebut sangatlah tidak sesuai dengan aturan yang ada, perlu diketahui bahwa pembangunan jembatan itu berada dikawasan Taman Nasional Gn. Gede Pangrang.
Lalu ada lagi kasus terbaru tentang pembangunan dikawasan konservasi Taman Nasional Gn. Halimun Salak, yaitu pembangunan geothermal. Padahal pembangunan geothermal ini memiliki beberapa dampak lingkungan yang sangat serius, hal ini yang perlu diperhatikan oleh seluruh pemangku kebijakan dibumi pertiwi ini.
Berdasarkan hasil kajian tentang dampak yang ditimbulkan oleh pembangunan geothermal yang dilakukan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia(WALHI), ada beberapa dampak yang ditimbulkan dari pembangunan tersebut.
Yaitu yang pertama kerusakan geiser dan lansekap, kehancuran geiser terjadi akibat aktivitas pengeboran kebawah permukaan.
Ekstraksi panas melalui power plant membuat geiser alami kehilangan tekanan dan lama-lama bisa kering. Contoh geiser yang rusak karena pemboran geothermal: geiser Beowawe di Nevada, geiser Spitfire di Nevada, geiser Teakettle di Nevada, geiser Pinchusion di Nevada, 26 geiser yang lain di Nevada, paling sedikit 12 geiser di Reykir, Islandia; sekitar 100 geiser di Wairakei, Selandia Baru.
Kedua, yaitu Pencemaran Air, Pencemaran air dapat terjadi oleh kontaminan seperti yang terdapat secara alamiah di dalam Bumi. Namun proses ekstraksi termal Bumi telah memobilisasinya sehingga mencemari air (tanah dan permukaan). Pencemaran tersebut bisa terjadi oleh zat-zat yang terkandung di dalam bumi, seperti Arsen (As), Antimon (Sb), dan Boron (B), perlu diketahui juga bahwa ketiga zat yang dihasilkan adalah partikel berbahaya bagi manusia.
Ketiga yaitu, Pencemaran Udara. Jika dibandingkan dengan aktivitas penambangan batubara, minyak, dan gas bumi, emisi yang dihasilkan pembangkit listrik geothermal memang lebih rendah, tetapi tetap berbahaya. Batubara menghasil emisi 2.095 CO2/kW-hr, minyak 1.969, gas bumi 1.321, dan geothermal 0.2.
Keempat, Yaitu Gempa dan Retakan, salah satu aktivitas yang dilakukan oleh pembangkit listrik geothermal adalah hydraulic fracturing (fracking). Fracking dilakukan untuk membuat retakan pada reservoir dengan tujuan akhir meningkatkan permeabilitas batuan sarang.
Fracking menyebabkan terjadinya penurunan kohesivitas (daya ikat) pada batuan. Pertambahan fluida dalam reservoir menyebabkan kenaikan tekanan, reservoir terfasilitasi untuk mengalami pergerakan (slip) karena gaya gesek statisnya terlampaui.
Kondisi inilah yang bisa mengadirkan getaran/gempa. Kelima Blow Out, blow out adalah suatu peristiwa mengalirnya minyak, gas, atau cairan lain ke permukaan dari aktivitas pengeboran dan tak bisa dikontrol.
Sebuah ledakan bisa terjadi selama operasi pengeboran sumur panas bumi. Kasus di dataran Alasehir-Turki, sejumlah besar cairan panas bumi muncul di sepanjang zona sesar memotong endapan berumur Neogen di tiga lokasi. Pengeboran panas bumi dilakukan pada kedalaman 1.000 m. Pemantauan dari Mei 2012 sampai September 2014 di wilayah studi, cairan panas bumi mengandung Na-HCO3, dengan konsentrasi arsen dan boron tinggi.
Dan terakhir adalah Amblesan, amblesan atau penurunan permukaan tanah terjadi karena adanya ekstraksi fluida pada kedalaman yang relatif dangkal. Teori konsolidasi sederhana Terzhagi menghubungkan tekanan pori yang menurun dengan tekanan efektif yang naik; kompaksi yang dihasilkan proporsional antara kompresibilitas dan ketebalan lapisan yang mengkompaksi dengan ukuran penurunan tekanan pori.
Amblesan terjadi di pembangkit energi geotermal Wairakei, Selandia Baru yang dibangun pada 1958 dengan produksi 150±Mwe (Megawatt electric). Amblesan mencapai 14± 0,5 m dengan kecepatan 200 mm/tahun dan diperkirakan mencapai 20±2 m pada 2050. Massa air panas yang diekstrak dari batuan melaui sumur-sumur relatif dangkal, dengan kedalaman 500-1.000 m di bawah permukaan, mencapai maksimum 2.300 kg/detik di tahun 1965, dan tinggal 1700 ± 200 kg/detik pada tahun 1970. Di sisi lain, injeksi fluida ke dalam batuan tidak maksimal sehingga ekstraksi menyebabkan menurunnya tekanan di dalam formasi batuan sekitar 25 bar.
Jadi pembangunan geothermal bukan tanpa resiko, pemerintah selaku pemangku kebijakan jangan hanya menyuguhkan hal- hal termanis didalam pembangunan geothermal tersebut, pemerintah juga harus memikirkan dampak terburuk yang dihasilkan dari pembangunannya. Jangan sampai setelah kejadian terburuk itu terjadi, pemerintah sibuk mencari kambing hitam untuk menutupi hal- hal tersebut. (Fikri).***